Pendidikan Politik: Hilangnya Hak Politik Bagi Mantan Narapidana
Abstract
Eksistensi pemilihan umum diakui oleh negara penganut asas kedaulatan rakyat, dan diadakan disemua jenis tataran politik baik sistem demokrasi, otoriter maupun totaliter. Pemilihan umum merupakan waktu yang tepat sebagai evaluasi kinerja parlemen. Dimana hal tersebut bisa menjadi referensi untuk menggunakan hak pilih, yaitu bagi calon legislatif yang mempunyai rekam jejak yang buruk seharusnya dapat dicegah untuk terpilih kembali. Begitu sebaliknya, pemilihan umum juga bisa menjadi referensi untuk tidak memilih calon legislatif yang mempunyai rekam jejak yang buruk yaitu melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui arah politik hukum di Indonesia mengenai hilangnya hak politik bagi mantan narapidana. Mekanisme pencabutan hak pilih (hak politik) dilakukan oleh aparatur negara melalui putusan pengadilan yang dijatuhkan kepada narapidana berupa vonis hukuman yang melalui putusan pengadilan dengan dasar yuridis perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidananya. Pencabutan hak pilih (hak politik) narapidana adalah langkah progresif yang dilakukan oleh Hakim Mahkamah Agung, sehingga putusan tersebut dapat menjadi yurisprudensi bagi hakim dan lembaga peradilan dibawahnya untuk menjatuhkan hukuman yang sama dengan menegaskan mengenai limit waktu pencabutan hak pilih tersebut, agar dapat memberikan rasa keadilan sebagaimana tujuan dari pada hukum itu sendiri yang mengutamakan keadilan, kepastian hukum dan juga kemanfaatan hukum itu terhadap masyarakat. pelarangan mantan narapidana korupsi mendaftarkan diri sebagai calon legislatif dalam Pemilu yaitu demi terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik harus dikelola melalui pemerintahan yang bersih yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan terbebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.